Tugas kali ini
adalah mencari sebuah contoh kasus hukum perdata yang terjadi dan
diminta untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Oleh karena
itu untuk menyelesaikan tugas kali ini, saya memutuskan mengambil
salah satu kasus yang sering terjadi di Indonesia. Mugkin sebenarnya
bukan hanya sering terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
Kasus yang saya maksud ini adalah Wanprestasi.
Sebenarnya, apa itu
wanprestasi? Kita pasti sudah sering mendengar istilah tersebut
bukan? Wanprestasi (breach of contract) berasal dari bahasa Belanda
yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah
suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur
tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
Debitur
dapat dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi. Hal ini dapat
dijelaskan menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Si
Berutang adalah lalai, apabila dia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lali, atau demi perikatan
sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggapa
lali dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Contoh
kasus wanprestasi yang kali ini saya ambil adalah konflik yang
terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintence Facility
Aero Asia seperti yang tertulis dalam
laman
http://www.scribd.com/doc/46091428/Kasus-Wanprestasi.
Disini diceritakan bahwa kasus bermula ketika GMF memberikan biaya
jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian
oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak melunasi biaya
perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF
menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo.
Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah
sebesar US$ 1,192 juta.
Untuk
menyelesaikan konflik tersebut, GMF mengajukan gugatan perdata
terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25
September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang
milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor
335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia Air
yang merupakan pesawat Boeing 737-200. ketujuh pesawat Batavia
berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga
dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas biaya penggantian dan
perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai tersebut terbukti
melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar US$ 256.266
plus bungan 6% per tahun terhitung sejak 17 November 2007.
Meski
ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi
selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat
berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenanangan
untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan
transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam
penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009. Dalam hal ini
berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUH Perdata, seemua jenis
atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, menjadi tanggunan atau jaminan atas segala utang debitur.
Sita jaminan hanya dilarang untuk hewan dan barang yang bisa
digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa
dijadikan onjek sita jaminan. Pesawat tidak dikategorikan sebagai
barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai alat
perdagangan.
Berdasarkan
kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence
Facility, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita
jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan
sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh
pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh
nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi
pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan
Pasal 196 HIR?
Di dalam Pasal 227
HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan
menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud
akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan
Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas
barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal
tersebut, sesuai dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF
agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya.
Dalam hal ini,
Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau
menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan
tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan
adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai
barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau
mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak
sah dan merupakan tindak pidana.
Pasal 1311
KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada
Batavia Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat Batavia yang
merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor
registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran
utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT.
Batavia Air tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau
melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh
penggugat melalui prosedur tertentu.
Pasal 196 HIR
menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai
untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang
memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada
ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195,
buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu
di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya
delapan hari.
Penjelasan:
Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi
keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau
memenuhinya, maka pihak yang menang baik dengan lisan maupun dengan
surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri yang telah
memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut. Ketua
pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan
diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang
selama-lamanya delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat
tempo yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah
hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada
Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah
sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.
Berdasarkan kasus
wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan
analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131
KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus
wanprestasi GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita
jaminan sampai Batavia dapat melunasi utangnya.