Jumat, 28 Maret 2014

Aspek Hukum Dalam Ekonomi (Tugas 1)

Tugas kali ini adalah mencari sebuah contoh kasus hukum perdata yang terjadi dan diminta untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Oleh karena itu untuk menyelesaikan tugas kali ini, saya memutuskan mengambil salah satu kasus yang sering terjadi di Indonesia. Mugkin sebenarnya bukan hanya sering terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Kasus yang saya maksud ini adalah Wanprestasi.
Sebenarnya, apa itu wanprestasi? Kita pasti sudah sering mendengar istilah tersebut bukan? Wanprestasi (breach of contract) berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
Debitur dapat dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi. Hal ini dapat dijelaskan menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Si Berutang adalah lalai, apabila dia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lali, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggapa lali dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Contoh kasus wanprestasi yang kali ini saya ambil adalah konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintence Facility Aero Asia seperti yang tertulis dalam laman http://www.scribd.com/doc/46091428/Kasus-Wanprestasi. Disini diceritakan bahwa kasus bermula ketika GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak melunasi biaya perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar US$ 1,192 juta.
Untuk menyelesaikan konflik tersebut, GMF mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia Air yang merupakan pesawat Boeing 737-200. ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai tersebut terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar US$ 256.266 plus bungan 6% per tahun terhitung sejak 17 November 2007.
Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenanangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUH Perdata, seemua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi tanggunan atau jaminan atas segala utang debitur. Sita jaminan hanya dilarang untuk hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan onjek sita jaminan. Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai alat perdagangan.
Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence Facility, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR?
Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.
Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana.
Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya,  yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air  tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.
Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Penjelasan: Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak yang menang baik dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut. Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat tempo yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.
Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utangnya.